Media Waradhana – Di tengah hiruk pikuk Kota Semarang, berdiri megah sebuah bangunan tua berkubah tembaga yang memikat mata siapapun yang melintas di Kota Lama. Gereja Protestan Indonesia Barat (GPIB) Immanuel atau yang lebih dikenal sebagai Gereja Blenduk bukan hanya bangunan sebagai tempat ibadah, melainkan juga ikon visual yang membentuk identitas kawasan Kota Lama Semarang. Meski sudah tua, gereja ini tetap hidup dan menjadi ruang temu lintas generasi dan budaya.
Sejarah Singkat Gereja Blenduk
Gereja Blenduk didirikan oleh Portugis sejak tahun 1753 sebagai tempat beribadah umat Protestan. Pada mulanya, bentuk atap gereja ini belum berbentuk kubah setengah lingkaran, melainkan berbentuk seperti atap pendopo yang lebar dan melandai. Pada tahun 1894 atap gereja ini direnovasi menjadi bentuk kubah oktagonal atau segi delapan bergaya Eropa oleh pemerintah Belanda. Bentuk kubah inilah yang kemudian melahirkan sebutan “Blenduk”, yang berasal dari bahasa Jawa yaitu mblenduk yang menggambarkan bentuk membulat atau menggembung.
Ornamen Klasik di Gereja Blenduk

Meskipun telah berdiri hampir 3 abad, desain interior gereja ini masih mempertahankan banyak ornamen asli yang mencerminkan karakter khas arsitektur kolonial Belanda. Salah satu elemen paling ikonik dari Gereja Blenduk adalah orgel tua yang didatangkan langsung dari Eropa pada tahun 1894. Instrumen besar ini dulunya digunakan sebagai pengiring utama dalam ibadah untuk memperkuat suasana sakral. Namun, sejak tahun 1980-an orgel tersebut sudah tidak dapat berfungsi karena adanya kerusakan. Meskipun saat ini sudah tidak mengeluarkan suara, alat musik tersebut masih berdiri megah pada bagian bilik 4 menghadap langsung ke arah pintu utama gereja.

Selain itu, jajaran bangku kayu jati tertata rapi menampakkan keanggunan dan kesederhanaan. Pilar-pilar putih bergaya Dorik menopang langit-langit tinggi yang memberi kesan lapang dan sakral. Cahaya matahari masuk melalui jendela-jendela kaca patri yang tinggi dan melengkung, memberikan efek cahaya warna-warni yang lembut. Desain interior yang simetris memberi kesan harmoni yang sejalan dengan semangat gereja sebagai tempat pertemuan yang damai. Keseluruhan desain Gereja Blenduk menunjukkan bahwa arsitektur bukan hanya tentang keindahan, namun juga sebagai media yang menyimpan nilai sejarah, budaya, dan spiritualitas.
Fungsi sebagai Tempat Ibadah Masih Terus Berlanjut
Salah satu pengurus GPIB Immanuel Semarang, Ida Lomboan, menjelaskan bahwa hingga hari ini Gereja Blenduk masih beroperasi sebagai tempat ibadah.
“Hingga hari ini, Gereja Blenduk masih digunakan sebagai tempat ibadah oleh sekitar 225 kepala keluarga jemaat aktif. Gereja beroperasi pada hari Sabtu untuk latihan pelayanan dan hari Minggu untuk pelayanan,” jelasnya pada Jumat (09/05).
Ibadah rutin dilaksanakan pada setiap hari Minggu pukul 09.00 WIB dan 17.00 WIB. Namun, karena jam ibadah bertabrakan dengan jadwal Car Free Day (CFD) pada kawasan sekitar, para jemaat menggunakan jalur samping sebagai akses masuk, bukan melalui jalur utama. Meski begitu, hal ini tidak mengurangi kekhidmatan ibadah dan telah menjadi bagian dari rutinitas jemaat.

Salah satu karyawan di Gereja Blenduk, Tio, menyampaikan bahwa meskipun gereja menjadi salah satu cagar budaya, aktivitas ibadah tetap berlangsung seperti biasa.
“Ya, walaupun Gereja Blenduk menjadi cagar budaya tetapi fungsinya sebagai rumah ibadah umat Protestan masih berlangsung hingga sekarang,” ujarnya pada Jumat (09/05).
Gereja Blenduk sebagai ruang spiritual yang tetap hidup di dinamika kota membuktikan bahwa peninggalan sejarah masih bisa berdenyut bersama kehidupan masa kini.
Masa Pemeliharaan dan Pembukaan Kembali sebagai Cagar Budaya
Dalam beberapa waktu terakhir, Gereja Blenduk ditutup untuk umum karena sedang menjalani proses renovasi dan perawatan. Langkah ini diambil untuk menjaga keutuhan struktur bangunan sekaligus memastikan kenyamanan serta keamanan jemaat dan pengunjung.
Kabar baiknya, gereja ini akan dibuka kembali untuk kunjungan umum pada bulan Juni 2025. Wisatawan dapat kembali melihat dan menikmati langsung keindahan arsitektur klasik Eropa, seperti kubah oktagonal, orgel tua, pilar megah, dan jendela kaca patri yang menjadi ciri khas bangunan ini. Namun, perlu diketahui bahwa untuk berkunjung ke dalam gereja, pengunjung perlu mengajukan surat izin terlebih dahulu. Surat izin perlu disertai keterangan tujuan kunjungan, seperti penelitian sejarah, dokumentasi arsitektur, atau kegiatan edukatif untuk pelajar. Hal ini dilakukan demi menjaga suasana sakral serta memastikan gereja tetap menjadi ruang ibadah yang dihormati, bukan sekadar objek wisata.
Gereja Blenduk bukan hanya bangunan tua yang berdiri megah di tengah Kota Lama Semarang, melainkan saksi sejarah, rumah ibadah yang terus hidup dan simbol penting dalam perjalanan panjang Kota Semarang. Bagi Anda yang tertarik dan ingin mengenal lebih dekat sejarah kota ini, Gereja Blenduk dapat menjadi salah satu tujuan kunjungan yang bermakna. Mari bersama-sama menjaga dan merawat ruang bersejarah, agar denyutnya tak pernah padam dan maknanya terus mengalir untuk generasi yang akan datang.
Credit: Media Waradhana/ Abigael Eudia