Media Waradhana – Sendang Gede di Desa Wisata Kandri, Kecamatan Gunungpati, Semarang, adalah sebuah mata air yang kini menjadi bagian penting dari destinasi desa wisata. Bukan hanya sebagai tempat rekreasi saja, akan tetapi juga sebagai ruang spiritual yang dijaga hingga kini dengan berbagai larangan yang diwariskan secara turun-temurun. Bagi pengunjung, memahami dan menghormati larangan-larangan yang berlaku di sendang ini menjadi hal penting agar tidak mengalami hal-hal yang tidak diinginkan.
Menurut kepercayaan warga setempat, Sendang Gede bukan hanya sebagai ruang fisik saja, tetapi juga merupakan batas antara dunia nyata dan dunia tak kasat mata. Kunjungan ke Sendang Gede ini dianggap sebagai perjalanan ke tempat sakral yang menuntut etika dan sikap hormat.
“Yang saya sampaikan yaitu satu, pengunjung masyarakat Kandri sendiri atau wisatawan harus (menjaga) tata krama,” ujar juru kunci Sendang Gede, Supriadi.
Asal-usul dan Nilai Sakral Sendang Gede
Menurut cerita yang berkembang di masyarakat Kandri, Sendang Gede dulunya merupakan mata air besar yang muncul secara tiba-tiba. Masyarakat Kandri sempat khawatir akan meluapnya air yang dapat menenggelamkan desa. Kemudian untuk mengatasinya, dicarikan orang pintar yang memberikan syarat berupa sesaji kepala kerbau, peralatan tradisional Jawa, dan jadah. Setelah ritual dilakukan, air berhasil surut dan terbentuklah sendang yang kini dikenal sebagai Sendang Gede.
Seiring berjalannya waktu, tempat ini dijadikan pusat ritual adat, pengambilan air suci, dan sebagai sarana spiritual oleh warga Kandri. Di sinilah kepercayaan terhadap kesakralan sendang tumbuh dan melahirkan berbagai larangan yang dijaga ketat hingga kini.

Larangan yang Harus Dipatuhi
Larangan di kawasan Sendang Gede tidak tertulis secara formal, namun mengakar kuat dalam keyakinan yang dipegang bersama oleh warga. Larangan ini diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi atau turun-temurun dan menjadi bagian penting dalam menjaga harmoni antara manusia dan alam gaib.
Larangan pertama adalah dilarang menangis di area sendang. Menangis atau membuat orang lain menangis di sekitar Sendang Gede dipercaya dapat menarik energi negatif.
“Dulu pernah ada yang menangis di sendang, terus setelah pulang dari sendang gak lama kemudian orang itu meninggal,” ujar Supriadi.
Kedua, dilarang mencuci peralatan dapur. Hal ini karena air di Sendang Gede dianggap sebagai tirta atau air suci, sehingga jika menggunakannya untuk mencuci peralatan dapur dianggap mencemari kesakralannya.
“Dulu orang Kandri sendiri bawa alat dapur cuci di sendang, kemudian pulang dia stres atau menjadi edan (gila),” ungkap Supriadi.
Ketiga, dilarang mencela air sendang. Air yang jernih di sendang dapat berubah secara misterius. Mencela atau mengucapkan kata-kata kasar terhadap air ini diyakini dapat menyebabkan gangguan mental atau kerasukan.
“Itu pernah ada orang yang mencaci maki air sendang, setelah mencaci maki sakit. Ada juga mahasiswa asal Kendal yang waktu itu PKL (Praktik Kerja Lapangan) ke sini, dia mencaci maki air sendang, kemudian pulangnya stres,” ungkap Supriadi.
Keempat, dilarang berfoto dalam jumlah ganjil. Berfoto dalam jumlah ganjil seperti tiga atau lima sangat dihindari. Masyarakat percaya bahwa makhluk gaib bisa menggenapi jumlah tersebut.
Kelima, dilarang beraktivitas di belakang pohon besar. Pohon besar di dekat sedang dipercaya sebagai tempat tinggal makhluk halus. Berteriak, duduk, atau berfoto di belakang pohon tersebut dianggap sebagai tindakan tidak sopan.
Terakhir, dilarang menggunakan baju bergambar naga dan ular. Pengunjung Sendang Gede juga diimbau untuk tidak mengenakan pakaian bergambar naga dan ular. Dalam kepercayaan masyarakat setempat, simbol tersebut diyakini mengandung energi kuat yang bisa mengganggu keseimbangan di tempat keramat tersebut.
Warisan Leluhur yang Terus Dijaga
Sendang Gede tidak hanya dijaga lewat pantangan, tetapi juga melalui tradisi dan praktik spiritual yang masih dijalankan hingga kini. Salah satunya adalah tradisi Nyadran, yaitu ritual slametan dan makan bersama yang dilakukan di bulan Jawa mbatil akhir, hari Kamis Kliwon. Warga membawa makanan dalam bakul, kemudian diarak menuju sendang untuk disantap bersama sebagai bentuk syukur. Tradisi ini diyakini tak bisa diganti waktunya.
“Dulu pernah diganti harinya, kemudian ada wabah yang menimpa desa Kandri seperti Covid, yaitu (warga) meninggal berturut-turut,” ungkap Supriadi selaku juru kunci Sendang Gede.

Setiap malam Rabu, remaja desa Kandri juga rutin mengaji bersama juru kunci. Melalui kegiatan ini, nilai-nilai spiritual dan kisah mistis sendang dikenalkan secara perlahan kepada generasi muda.
“Sedikit-sedikit saya kenalkan cerita-cerita seperti itu. Ada yang percaya, ada yang belum. Tapi kerja samanya sudah baik,” ujar Supriadi.
Selain perawatan spiritual, pembersihan sendang juga dilakukan secara rutin. Warga membersihkan sendang dua kali dalam setahun, sementara pemerintah melakukannya setiap tiga bulan sekali. Semua ini mencerminkan upaya bersama menjaga sendang sebagai warisan budaya dan spiritual masyarakat Kandri.
Credit: Media Waradhana/ Haliza Ni’ma