Di pusat Kota Kudus, tepatnya di Desa Kauman terdapat salah satu cagar budaya yang berdiri megah di dalam kota yang dikenal sebagai Kota Santri yaitu Menara Kudus. Menara Kudus dibangun oleh Sunan Kudus pada tahun 956 Hijriah atau 1685 Masehi sebagai salah satu media dakwahnya dalam menyebarkan agama Islam di Kota Kudus. Selain Menara Kudus, terdapat pula Masjid di samping menara yang disebut dengan Masjid Al-Aqsha. Bangunan menara dan ikonik masjid ini pun berbentuk menyerupai candi sebagai hasil akulturasi budaya antara Islam dan Hindu di Jawa. Berbeda dengan candi pada umumnya yang biasanya dibangun menghadap ke arah utara dan selatan, Menara Kudus sengaja dibangun menghadap barat atau kiblat.
Uniknya, bangunan Menara Kudus yang memiliki ketinggian mencapai 17 meter disusun dengan menggunakan batu bata tanpa adanya bahan perekat sama sekali, tetapi masih tetap kokoh berdiri sampai saat ini. Meskipun secara umum bangunan Masjid dan Menara Kudus terlihat mencolok dengan corak Hindu, ornamen-ornamen di dalam masjid sangat kental dengan unsur-unsur budaya Arab dalam Islam.

(Sumber foto: Alda Khilmi)
Selain interior bangunan yang unik, Menara Kudus menyimpan cerita sejarah mitos yang menarik, salah satunya adalah Pintu Kalacakra yang dipercayai oleh masyarakat Kudus mampu untuk meruntuhkan kekuasaan para pejabat. Diyakini bahwa setiap pejabat yang memiliki level tinggi akan lengser dari jabatannya setiap melewati pintu tersebut. Nama Pintu Kalacakra diberikan oleh Ja’far Shodiq atau yang dikenal dengan Sunan Kudus sebagai rajah yang kemudian dikenal dengan nama Kalacakra atau Kolocokro.

Sejarah awal dipasangnya Rajah Kalacakra ini merupakan upaya dari Sunan Kudus untuk memediasi konflik pewaris dinasti dari Kerajaan Demak. Sunan Kudus ingin menghindarkan pesantren yang telah diasuh oleh Sunan Kudus agar tidak terlibat dalam perebutan pengaruh politik. Pati Unus, yang merupakan sultan kedua dari Kesultanan Bintoro Demak, menyerahkan kekuasaan kepada Sultan Trenggono.
Namun, pengangkatanya tidak sepenuhnya mendapat dukungan dari kalangan internal, sehingga memicu berbagai gejolak. Konflik yang terjadi di Kerajaan Demak kala itu melibatkan Sultan Hadiwijaya dan Haryo Penangsang. Dalam situasi yang memanas, keduanya mendatangi Sunan Kudus untuk meminta petunjuk. Sunan Kudus pun menyarankan agar semuanya kembali ke titik awal, dengan melepaskan jabatan politik, kekuasaan, serta kedudukan masing-masing. Hingga pada akhirnya, Sunan Kudus memasang Rajah Kolocokro sebagai penetral kekuatan, kesaktian, dan kewibawaan bagi siapa pun yang melintasinya dalam situasi konflik. Ketika Haryo Penangsang datang melalui pintu yang telah dipasangi rajah, ia kehilangan kekuasaannya. Sebaliknya, Hadiwijaya memilih jalur lain sehingga tidak terpengaruh oleh rajah tersebut.
Dalam penafsiran lain, hal ini merupakan pesan Sunan Kudus mengenai pemasangan rajah yang dimaknai sebagai ajakan bagi siapa pun yang datang ke Menara Kudus untuk melepaskan segala kepentingan duniawi, khususnya berkaitan dengan jabatan dan kekuasaan.
Salah satu pengelola Menara Kudus, Darto menjelaskan cerita mengenai sakralnya Rajah Kalacakra itu bukanlah mitos karena terdapat data, peristiwanya dan bukti rajah yang terpampang secara nyata.
“Saya kurang sepakat sih mbak kalau ada yang bilang kalau ini hanya omong kosong cerita saja, ini nyata, ada datanya, bukti peristiwanya bahkan rajahnya juga ada jadi jelas nyata adanya ya,” ujarnya pada Jumat (01/05).
Hingga saat ini, cerita itu masih terus berkembang dan dilestarikan. Banyak pejabat dan politisi yang akhirnya tidak mau ambil risiko akan hilangnya kekuasaan mereka setelah melewati Pintu Kalacakra tersebut.
Darto menjelaskan ketika para pejabat memang akan berkunjung, mereka akan meminta kepada pengelola masjid menara untuk dapat masuk melewati pintu lain, tanpa harus melewati pintu gerbang yang dirajah tersebut.
“Biasanya para pejabat jika memang datang kesini ya mereka pasti meminta kita sebagai juru kunci atau pengelolanya agar membukakan akses pintu lainnya mbak, mereka sangat enggan buat lewat di pintu utama karena ya memang jika ditanya alasannya ya karena mereka takut lengser, takut lepas gitulah jabatannya ya” tambahnya.
Pintu Kalacakra yang disebut sebagai pintu Rajah Kalacakra yang dikenal dengan kesakralanya itu sudah diberikan pesan dari Sunan Kudus agar siapapun yang datang ke dalam Menara Kudus atau berziarah harus meninggalkan kepentingan duniawi mereka, terutama pada kekuasaan.
Salah satu filosofinya adalah GUSJIGANG, yang telah diajarkan oleh Sunan Kudus kepada para santri dan masyarakat Kudus sebagai pedoman hidup yang artinya bagus (akhlaknya), ngaji (belajar agama Islam), dan dagang (pandai dalam berdagang). Tiga hal ini merupakan yang paling layak untuk dijalani di dalam kehidupan.
Credit: Media Waradhana/ Alda Khilmi