Media Waradhana – Di balik gemerlap wisata dan rasa lumpia yang memikat, Kota Semarang menyimpan banyak kisah gaib yang dipercaya turun-temurun oleh masyarakat, salah satunya adalah Kelenteng Sam Poo Kong yang menjadi saksi perjalanan seorang laksamana dari negeri seberang.
Sam Poo Kong, klenteng tertua di Semarang yang digunakan sebagai tempat ibadah sekaligus destinasi para wisatawan mengandung banyak kisah di dalamnya. Kelenteng ini membagi tempat ibadah ke dalam beberapa bagian, seperti Gapura Timur, Kelenteng Sam Poo Tay Djien, Kelenteng Dewa Bumi, Kelenteng Jurumudi, dan Kelenteng Kyai Jangkar.

Kisah yang paling terkenal di kelenteng ini adalah kisah kedatangan Laksamana Zheng He atau masyarakat biasa mengenalnya sebagai Laksamana Cheng Ho. Cheng Ho lahir pada 23 September 1371, ia tumbuh sebagai seorang penganut agama Islam yang taat dalam memajukan penyebaran agamanya. Ia tumbuh di Provinsi Yunnan dan berasal dari Suku Hui, salah satu suku minoritas yang ada di Cina sebelum akhirnya ia diangkat untuk membantu pemerintahan Dinasti Ming.
Seorang Juru Kunci yang berada di Kelenteng Kyai Juru Mudi, Katiyo menjelaskan mengenai perjalanan ekspedisi yang dilakukan oleh Laksamana Cheng Ho beserta dengan awak serta kapten kapalnya.
“Laksamana Cheng Ho mulai berlayar pada tahun 1405, 1406, dan seterusnya. Laksamana Cheng Ho berlayar ke Indonesia sudah menjelajahi hampir seluruh bagian di Indonesia, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, Malaka, semuanya telah dijelajahi. Laksamana Cheng Ho sebagai panglima pedagang besar dan Sarekat Islam pertama kali di Indonesia tahun 1405 sampai seterusnya,” jelasnya pada Selasa (06/05).
Tujuan dari ekspedisi yang dilakukan oleh Cheng Ho adalah memperkuat hubungan diplomatik dan perdagangan antara Cina dengan negara-negara yang dilaluinya. Sembari menjalankan tugasnya untuk memimpin ekspedisi armada laut, Cheng Ho juga menyebarkan ajaran Islam.
Cheng Ho memiliki kapten kapal bernama Kyai Djoeroe Moedi atau dikenal sebagai Juru Mudi dan merupakan seorang muslim taat. Dalam pelayaran yang dipimpin oleh Cheng Ho, Juru Mudi memegang peranan penting sebagai kapten kapal. Setelah menempuh perjalanan panjang dan singgah di banyak pelabuhan, kapal Cheng Ho mendarat di Semarang. Rencananya ekspedisi ini belum selesai, namun keadaan harus berubah saat kapten kapal menderita sakit yang cukup parah hingga akhirnya meninggal. Hal inilah yang menyebabkan awak kapal Cheng Ho menyelesaikan ekspedisi ini dan menjadikan Semarang sebagai tempat persinggahan terakhir.
Berdasarkan informasi yang tertempel di dinding Goa Batu mengenai meninggalnya Juru Mudi, awak kapal Cheng Ho menguburkan Juru Mudi di sebuah lokasi yang menjadi bagian dari salah satu bangunan kelenteng. Juru Mudi dimakamkan di dekat pohon beringin yang berada di balik tembok kelenteng. Pengelola kelenteng menjadikan lokasi makam sebagai tempat persembahan dan pemujaan yang dikenal sebagai Kelenteng Juru Mudi.
Selain kisah mengenai Cheng Ho dan kapten kapalnya, Kyai Juru Mudi, masyarakat sekitar mengenal dan mempercayai mengenai keberadaan naga emas sebagai bagian penting yang melekat pada Kelenteng Sam Poo Kong. Masyarakat mempercayai naga emas sebagai pelindung yang kuat serta membawa keberuntungan dan kesuksesan bagi siapa saja yang menghormatinya.
Keberadaan naga emas menambah dimensi sakral yang menjadikan kelenteng ini sebagai pusat energi positif dan ketenangan bagi penganut maupun wisatawan. Penghormatan yang dilakukan terhadap naga emas dilakukan melalui ritual dan upacara keagamaan yang digelar di kelenteng. Meski tidak ada simbol dan bangunan khusus untuk menghormati naga emas ini, namun keberadaannya bisa ditemui pada atap masing-masing bangunan.

Berdasarkan informasi yang tertera pada dinding gua batu, masyarakat mempercayai adanya sumur yang mampu menyembuhkan dan memperlancar rezeki.
Seorang masyarakat yang sudah lama tinggal di Semarang, Sarah menjelaskan sedikit mengenai Sumur Panguripan ini.
“Masyarakat sejak zaman dulu percaya kalau air sumur ini dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit dan berkhasiat sebagai obat, sehingga tempat ini ramai dikunjungi oleh para wisatawan atau para peziarah. Mereka juga percaya bahwa air ini bisa memperlancar rezeki dan membawa keberuntungan bagi yang mengambil dan memanfaatkannya,” jelasnya pada Senin, (05/05).
Kepercayaan masyarakat akan air di sumur ini yang membuat Sumur Panguripan sebagai salah satu tempat sakral dan sering dikunjungi di kelenteng ini. Sumur ini merupakan peninggalan dari Laksamana Cheng Ho dan pengikutnya yang menggali sumur saat pertama kali tiba di Semarang. Awalnya pengunjung dapat mengambil air langsung dari sumur yang ada di dalam gua sempit, namun kemudian pengelola kelenteng memasang pipa dan pompa untuk memudahkan akses dalam mengambil air. Sumur ini terletak di bagian dalam gua batu bagian belakang Kelenteng Sam Poo Tay Djien atau Kelenteng Cheng Ho.
Secara umum, beberapa bagian dari kelenteng ini telah mengalami renovasi untuk menjaga kelestariannya, seperti pada bagian gua batu yang runtuh akibat longsor. Yayasan Sam Poo Kong melakukan renovasi secara besar-besaran pada tahun 2000-2005 untuk menjadikan kelenteng ini lebih megah dan luas, yang saat ini luas areanya mencapai 3,5 hektar.
Pada setiap bangunan kelenteng terdapat masing-masing satu guru kunci dan satu petugas kebersihan yang siap membantu dalam beribadah dan menjawab pertanyaan yang diberikan oleh wisatawan. Untuk menjaga kesucian dan ketertiban, terdapat beberapa aturan yang harus dipatuhi, seperti melepas alas kaki, berada di luar bagian khusus beribadah bagi pengunjung yang tidak melakukan ibadah.
Dengan pengelolaan yang baik dan perhatian terhadap nilai-nilai tradisi, Kelenteng Sam Poo Kong tetap menjadi tempat ibadah yang sakral dan destinasi budaya yang mengandung banyak budaya kental serta mampu menjadi daya tarik bagi wisatawan.
Credit: Media Waradhana/ Devina Rory