Di Semarang bagian selatan, sebuah menara menjulang tenang di tengah halaman vihara yang rindang. Bukan menara sembarangan, tetapi Pagoda Avalokitesvara yang menjadi simbol keheningan sekaligus keagungan dalam ajaran Buddha Mahayana. Dengan arsitektur tujuh tingkat dan ukiran naga di tangga masuknya, bangunan ini seolah menyimpan lebih dari sekadar nilai estetika. Bangunan ini membawa warisan panjang mitologi, spiritualitas, dan makna hidup yang tersimpan dalam setiap lapisan kayunya.
Bagi sebagian besar pengunjung, Pagoda Avalokitesvara hanya terlihat sebagai objek wisata religi yang eksotis. Namun, bagi mereka yang menengok lebih dalam, pagoda ini merupakan penanda hadirnya Dewi Welas Asih di Avalokitesvara atau yang lebih dikenal dalam budaya Tionghoa sebagai Dewi Kwan Im.
Pagoda Avalokitesvara berdiri setinggi 45 meter, menjadikannya pagoda tertinggi di Indonesia. Menariknya, angka itu bukan sekadar pilihan arsitektural tetapi menyimpan makna di baliknya.
“Setiap tingkat mewakili satu tahapan kesadaran dalam pencapaian spiritual,” jelas Sekretaris Vihara Buddhagaya Watugong sekaligus pengelola kegiatan kunjungan dan edukasi keagamaan, Dina.
Ia menuturkan bahwa angka tujuh dalam ajaran Buddha melambangkan proses pencerahan dari duniawi menuju Nirwana. Tangga spiral di dalam pagoda dirancang untuk membawa orang-orang naik, tidak hanya secara fisik, tetapi juga secara simbolik yang mendekati kebijaksanaan Avalokitesvara.
Di puncak pagoda, terdapat patung Dewi Kwan Im berwarna putih yang menghadap ke arah utara, diyakini sebagai arah kedamaian. Dewi Kwan Im dalam mitologi Buddha Mahayana merupakan perwujudan dari kasih sayang tertinggi, sosok yang mendengarkan jeritan makhluk hidup dan turun tangan menolong tanpa membeda-bedakan.
Nama Avalokitesvara berasal dari bahasa Sanskerta bermakna yang melihat ke bawah dengan welas asih. Dalam tradisi Mahayana, ini diyakini sebagai bodhisattva yang menunda pencerahan sempurna agar bisa membantu semua makhluk mencapai kebahagiaan sejati.
Sosok ini kemudian berkembang menjadi Kwan Im di wilayah Tiongkok dan Asia Timur, termasuk Indonesia. Di Vihara Watugong, pengaruh Tionghoa sangat terasa dalam ornamen naga, lentera merah, dan lukisan-lukisan yang menghiasi dinding vihara. Namun yang menarik, elemen-elemen ini tidak meniadakan unsur lokal. Sebaliknya, mereka berbaur dengan nuansa Jawa, menciptakan harmoni budaya yang khas dan damai.
“Banyak pengunjung muda datang ke sini karena penasaran dengan kisah Kwan Im. Mereka sering bertanya kenapa beliau digambarkan sebagai perempuan, padahal katanya dulu Avalokitesvara itu laki-laki,” terang salah satu pengunjung yang rutin datang untuk bermeditasi, Meilin.
Meilin menjelaskan bahwa perubahan wujud Avalokitesvara menjadi sosok perempuan terjadi secara kultural, bukan doktrinal.
“Karena welas asih itu sering diasosiasikan dengan ibu. Sosok yang sabar, mendengar, dan tidak menghakimi,” tambahnya.
Pagoda ini bukan hanya milik umat Buddha. Banyak pengunjung dari latar belakang keyakinan yang berbeda datang untuk belajar dan merasakan ketenangan. Mahasiswa, komunitas spiritual, bahkan turis asing datang ke Watugong untuk mencari suasana yang sulit ditemukan di tempat lain. Mereka tidak hanya belajar tentang agama, tapi juga tentang nilai-nilai universal seperti kasih sayang, kesederhanaan, dan pengampunan, semua yang menjadi inti dari mitologi Avalokitesvara.
Pagoda Avalokitesvara tidak sekadar menjadi peninggalan masa lalu, melainkan ruang hidup yang terus memancarkan makna. Melalui simbol-simbol mitologis dan praktik spiritual sederhana, Pagoda Avalokitesvara memberi pengingat bahwa nilai-nilai tertinggi manusia seringkali tak tampak, tapi bisa dirasakan. Dalam senyapnya ruang doa, di bawah patung Dewi Kwan Im yang menjulang diam, orang-orang datang. Bukan hanya untuk memohon, tapi untuk mengingat bahwa welas asih bukan sekadar cerita lama, tapi kebutuhan mendesak dalam dunia yang sering lupa cara mendengarkan. (Emir Shidqi)
Credit: Media Waradhana/ Emir Shidqi