Media Waradhana – Festival Bubak Semarang adalah sebuah proyek kegiatan yang diinisiasi oleh Gambang Semarang Art Company (GSAC) sebagai bentuk komitmen untuk merayakan dan melestarikan seni budaya lokal khususnya kesenian di Semarang. GSAC adalah komunitas kebudayaan yang melestarikan seni gambang semarang yang berisi musik, tari dan drama.
GSAC tidak pernah padam dalam mengadakan acara-acara kesenian yang dapat dinikmati oleh masyarakat, contohnya dengan mengadakan event Srawung Semarangan di tahun 2017 dan 2022. Masih membawa semangat yang sama, GSAC akhirnya mengadakan Festival Bubak Semarang dengan konsep yang lebih kompleks dan penuh inovasi pada tahun 2025.
Festival Bubak Semarang adalah serangkaian kegiatan pentas seni yang melibatkan sejarah serta masyarakat. Runtutan acara Festival Bubak Semarang diawali dengan pembukaan pada 24 Januari 2025 di Menara Syahbandar Semarang.

Acara pembukaan dihadiri oleh para pejabat dan beberapa Lurah Kota Semarang, kemudian peluncuran logo Festival Bubak Semarang, dilanjutkan bedah buku Perjalanan Arya Purwalelana Mengelilingi Jawa (1860-1875), pertunjukan seni Nyi Bubak Melanglang Masa dari beberapa komunitas kesenian, seperti Sanggar Tresna Budaya berkolaborasi dengan Ki Rengga Dumadi, Karangjati Nyawiji, dan Tridhatu sebagai penutup.
Agenda kedua yaitu Lokakarya untuk panitia dan juga anggota internal GSAC, dilakukan pada 26 Januari 2025 di Omah Kampung Subali, Krapyak. Materi yang diberikan adalah manajemen seni dan tata kelola administrasi organisasi komunitas budaya dengan tujuan meningkatkan kemampuan memanajemen organisasi dan pentas seni panitia Festival Bubak Semarang dan anggota internal GSAC.
Agenda Ketiga yaitu Mancakrida pada 15 Februari 2025 di Kampoeng Djowo Sekatul, Limbangan. Tujuannya supaya tim internal Festival Bubak Semarang memiliki jiwa solidaritas untuk menunjang suatu proses yang berlangsung lama.

Festival Bubak Semarang berfokus pada dua kegiatan utama yakni pertunjukan seni di empat kampung bersejarah, yakni Sekayu, Pecinan, Kauman, dan Krapyak. Adapun lomba bercerita sejarah Semarang bagi pelajar Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau sederajat. Pertunjukan akan digelar dari Mei hingga Agustus, sebagai upaya melestarikan kampung-kampung tua yang memiliki nilai historis penting bagi Kota Semarang.
“Kampung sekayu itu kampung sudah tua banyak sekali bangunan lama di sana, contohnya masjid dan rumah-rumah yang ada di sana, dengan banyaknya pembangunan di daerah situ hal ini bisa menjadi salah satu pertahanan dan upaya pelestarian,” ujar Direktur Utama GSAC, Bekso.
Karya yang ditampilkan dalam Festival Bubak Semarang merupakan karya orisinal hasil kolaborasi tim yang terdiri dari kurator, koreografer, komposer, serta tim nonteknis. Festival ini mengangkat tokoh fiktif Nyi Bubak, sosok ibu yang berasal dari masa lalu namun mampu hadir lintas zaman dalam berbagai wujud. Dalam mitologi Jawa, karakter ini menyerupai Danyang, dan berperan sebagai penghubung narasi di setiap kampung tempat pementasan berlangsung.
Festival ini terselenggara berkat dukungan tim GSAC dan lolosnya proposal kegiatan pada program Dana Indonesiana dari Kemendikbud Ristek melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan, serta dukungan sponsor dan kerja sama dengan masyarakat di kampung-kampung tempat pementasan berlangsung nantinya.
“Keberhasilannya adalah ketika mereka menjadikan festival ini menjadi milik mereka, saya malah senang kalau mereka menganggap ini wekku (milikku), karena dana acara ini juga dana rakyat juga,” tutup Bekso.
Credit: Media Waradhana/ Neysa Sheryl