ArtikelKomunitas

Sanggar Seni Perwira Budaya : Menjaga Warisan dan Menumbuhkan Harapan untuk Generasi Muda Semarang

16
×

Sanggar Seni Perwira Budaya : Menjaga Warisan dan Menumbuhkan Harapan untuk Generasi Muda Semarang

Share this article
Gambar Pagelaran Tari Ujian Akhir Semester. (Sumber Gambar: Dokumen Sanggar)

Di sudut Kota Semarang, tepatnya di wilayah Kalibanteng, alunan gamelan dan tari tradisional dari sebuah sanggar sederhana hadir sebagai pengingat akan kekayaan budaya yang tidak lekang oleh waktu, di tengah derasnya arus budaya asing yang membanjiri Indonesia. Sanggar itu tidak lain dan tidak bukan adalah Sanggar Seni Perwira Budaya yang didirikan oleh Ayok Eko Pertiwi pada 3 Maret 2013. Ayok lahir di keluarga dan lingkungan yang erat dengan seni, hal inilah yang kemudian mendorongnya untuk mendirikan sanggar seni.

Ayok menjelaskan sebelum ia mendirikan Sanggar Seni Perwira Budaya, keluarga yang terdahulu sudah mendirikan sanggar yaitu Sanggar Seni Yasa Budaya. 

“Dulu sebenarnya sanggar ini ada dua sanggar, yang satu adalah sanggar peninggalan dari om dan pakde, namanya Sanggar Yasa Budaya yang berdiri pada tahun 1984. Karena dari om dan pakde saya sudah tidak ada, akhirnya sanggar itu diberikan ke saya. Tetapi saya mendirikan sanggar sendiri lagi yang bernama Sanggar Perwira Budaya pada tahun 2013.” jelasnya pada Jumat (23/05).

Tempat latihan Sanggar Seni Perwira Budaya saat ini berada di rumah kediaman Ayok yang beralamat di Jl. Sri Rejeki Utara No. 18, Kalibanteng Kidul, Kecamatan Semarang Barat, Kota Semarang. Sebelumnya, sanggar seni ini bergabung dengan sanggar peninggalan keluarga terdahulu yang berada di Taman Budaya Raden Saleh (TBRS). Namun, karena jumlah anggota yang tidak terlalu banyak, sanggar ini dipindah menjadi satu tempat di Perwira Budaya. 

Sanggar Seni Perwira Budaya dan Yasa Budaya memiliki pembagian tingkat yang berbeda. Sanggar Perwira Budaya berfokus untuk melatih anak-anak dari jenjang TK hingga SMP, sedangkan Sanggar Yasa Budaya berfokus untuk melatih dari jenang SMA hingga Mahasiswa dan umum. Saat ini, jumlah anak yang ada di Sanggar Seni Perwira Budaya berjumlah lebih dari 50 anak, jumlah ini berkaitan dengan kapasitas sanggar yang dapat menampung latihan. 

Kelas seni dilaksanakan setiap hari Jumat sampai Minggu. Pada hari Jumat dan Sabtu, kelas dimulai dari sore pukul 15.30 WIB, dan pada hari Minggu kelas dilaksanakan dari pagi hingga siang atau sore. Pembagian kelasnya pun beragam, hari Jumat sore pukul 15.30 WIB digunakan untuk melatih murid jenjang TK dan pukul 17.00 WIB digunakan untuk melatih murid jenjang SD. Hari Sabtu sore digunakan untuk melatih murid jenjang SMP dan hari Minggu digunakan untuk melatih murid jenjang SMA, Mahasiswa, dan umum. 

Ayok menjelaskan jumlah murid saat ini didominasi oleh murid jenjang Sekolah Dasar (SD). 

“Paling banyak murid itu di jenjang SD, dari kelas 1 hingga kelas 6 karena kalau yang remaja dan dewasa sudah banyak kegiatan di kampus. Mahasiswa biasanya berlatih di tempat ini kalau mau mengadakan sebuah acara atau mengikuti sebuah acara,” jelasnya.

Kegiatan rutin yang dilakukan oleh para murid di sanggar ini adalah berlatih pola tarian, menjalani mid semester setiap 3 bulan sekali, dan melaksanakan ujian akhir semester untuk menentukan kelulusan dan kenaikan level. Pembelajaran di sanggar ini dikelompokkan berdasarkan tingkatan, dan pada masing-masing tingkatan diberikan pola tarian dengan tingkat kesulitan dan kerumitan yang lebih tinggi. 

Para murid diberikan waktu untuk mempelajari satu gerakan tari utuh selama 6 bulan masa pembelajaran. Setiap 3 bulan sekali, para murid akan menjalani mid semester untuk melihat kemampuan mereka dalam membawakan tarian dan menghafalkan setengah gerakan yang diberikan. Kemudian pada setiap akhir semester, mereka akan diuji dengan menarikan gerakan penuh yang telah mereka pelajari untuk menentukan kelulusan. 

Selain penentuan kelulusan melalui kemampuan para murid dalam membawakan setiap tarian, keaktifan, dan kehadiran juga turut mempengaruhi. 

“Disini sistemnya ada buku absen, setiap mereka datang untuk mengikuti kelas, mereka akan diminta untuk membawa buku absen ini gunanya untuk ditandatangani kehadirannya. Kalau mereka jarang datang, mereka tidak akan bisa menguasai materi dengan penuh dan itu akan mempengaruhi kelulusan mereka. Kalau mereka banyak absen (tidak hadir) dan tidak bisa menguasai materi, mereka tidak akan lulus dan akan mengulangi materi yang sama selama 6 bulan,” tambahnya. 

Di Sanggar Seni Perwira Budaya, para murid banyak mendapatkan materi mengenai tari nusantara, kreasi, dan sesekali diselingi materi tari klasik. Sementara di Sanggar Seni Yasa Budaya, materi inti yang diajarkan adalah tari klasik seperti Tari Gambyong yang menggambarkan tentang keanggunan, kelembutan, dan keindahan gerak seorang putri keraton. 

Beberapa contoh dari gerakan tari yang diberikan di sanggar seni ini adalah Tari Kupu-Kupu yang dibawakan para murid kelas 3 yang menggambarkan tentang keindahan dan kelincahan kupu-kupu. Tari Bhayangkari yang dibawakan para murid kelas 4 yang menggambarkan tentang kepahlawanan wanita. Tari Manipuri yang dibawakan para murid kelas 5 yang menggambarkan tentang cerita Jawa dan gadis remaja. 

Gambar kegiatan kerjasama dengan Universitas Diponegoro. (Sumber Gambar: Dokumen Sanggar)

Sanggar seni ini menjalin kerjasama dengan pemerintah dinas peristiwa dan memiliki program besar yang diberi nama Pusparagam Budaya Indonesia. Program ini menjadi wadah bagi sanggar-sanggar di Kota Semarang untuk tampil secara bergantian dengan dukungan fasilitas dan logistik.

Dalam perjalanannya melestarikan seni tradisional, Ayok mengalami kendala yang ditemuinya yaitu minimnya kegiatan yang berkaitan dengan sanggar di Kota Semarang. Oleh karena itu, pada tahun 2025, ia meluncurkan program Pusparagam Budaya Indonesia sebagai wadah kreasi anak-anak dan diharapkan dapat berlanjut di masa depan. Namun tentu, dalam menyelenggarakan acara secara mandiri memerlukan dana yang besar.

Ayok menaruh harapan yang besar kepada anak-anak agar mereka bisa melanjutkan dan menularkan tari tradisional, kreasi, dan nusantara kepada generasi yang akan datang karena hanya sedikit anak-anak sekarang yang mau terlibat dan tergabung di dalam melestarikan budaya tradisional khususnya dalam tarian tradisional. 

 

Credit: Media Waradhana/ Devina Rory

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *